Sejarah Desa
1
BAB II
ASAL USUL NAMA DESA SILADO DAN PERIODESASI
KEPALA DESA SILADO (1830-2019)
- KI GADO
Tokoh legendaris di Desa Silado yang selalu dianggap sebagai pendirinya yaitu Ki Gado, sering juga di sebut Si Gado atau dikenal pula kaki Gado, tiga julukan tersebut menunjuk pada satu tokoh sentral pendiri Desa Silado yaitu Ki Gado, menurut keterangan dari nara sumber bernama Kyai Ahmad Shodiq, bahwa nama Desa Silado mengambil dari nama tokoh tersebut. Hal ini berdasarkan pesan yang disampaikan oleh Ki Gado secara tidak tertulis akan tetapi selalu tertanam dalam benak masyarakat Silado secara turun temurun, yakni apabila grumbul ini sudah berkembang agar diberi nama Cilado atau Desa Silado. Adapun pesan beliau adalah sebagai berikut “ mbesuk rejaning jaman desa iki jenengana (katalao) Desa Silado”. Seorang penutur lisan lain bernama Achmad Rosadi memperkuat pendapat sebelumnya, bahwa kata Silado berasal dari bahasa Sansekerta yaitu SI = 7 atau SAPTA, LA = 6 atau SAD, dan DO = 1 atau IKO ( SAPTASADIKO).
Pada dasarnya penulis sangat kesulitan untuk menceritakan tokoh legendaris tersebut, karena hanya ada satu data tertulis yaitu yang ada dalam buku Setetes Tinta Buat Silado, selebihnya tidak terdapat prasasti, ataupun bukti-bukti sejarah yang menunjuk atau melegitimasi keberadaan Ki Gado di Desa Silado. Berita yang ada berdasarkan penuturan lisan dari para pendahulunya kepada anak cucunya secara turun-temurun, mereka hanya meraba-raba bahwa Ki Gado dahulunya seorang pendatang dan makamnya berada di bawah pohon Winong, diceritakan bahwa beliau sedang mencari lokasi yang tepat untuk bermukim, seperti kebanyakan para pendahulunya pada waktu itu senang berkelana atas restu gurunya atau mengemban amanat dari atasan baik seorang raja maupun pandita, atau kyai. Hal ini diperkuat dengan adanya pendapat yang mengatakan bahwa riwayat terjadinya desa yaitu karena insting manusia, jika ada segerombolan manusia menempuh hidup mengembara di jaman dahulu, maka mereka memilih suatu tempat dimana dalam suatu kumpulan yang besar atau kecil memutuskan untuk tinggal selamanya dan turun temurun. Adapun alasan untuk membentuk masyarakat ialah:
- Untuk hidup yaitu memberi makan, pakaian, dan perumahan.
- Mempertahankan hidupnya dari ancaman luar.
- Mencapai kemajuan hidup. (Soetardjo Karto Hadi Koesoemo).
2
Dalam Babad Tanah Jawi (Galuh Mataram) oleh Soewito Santoso, juga menceritakan tentang peristiwa perjalanan seorang bernama Banjaransari dari negeri Koripan, beliau adalah seorang raja yang meninggalkan kerajaannya untuk sebuah maksud mencari kemulyaan hidup.
Pada suatu malam yang tak berbintang Prabu Banjaransari nampak berkelana seorang diri menembus hawa dingin yang diiringi gerimis hujan rintik – rintik menambah atis menyelimuti tubuh. Pakaianya telah kehilangan warna, bahkan di sana sini telah koyak terkait duri dan ranting, walaupun begitu nampak bahwa bahannya adalah baik, potongannya tak sekasar pakaian orang pedesaan. Bagi mata yang tajam akan nyata bahwa orang yang lesu gontai jalanya itu bukanlah orang desa atau petani biasa. Ia berjalan kearah matahari mati, berhari – hari terus berjalan mengikuti arah yang sama sesuai petunjuk dari sang pendeta yaitu menuju matahari mati, jika ingin hidup mulya hingga tibalah diwilayah kerajaan Galuh yang dipimpin oleh raja wanita bernama Dewi Murdaningrum dan singkat cerita menikah-lah Raja Banjaransari yang masih jejaka dari negeri Koripan dengan Dewi Murdaningrum dari negeri Galuh.
Satu lagi ilustrasi yang barangkali juga mendukung statemen diatas yaitu perjalanan seorang tokoh yang berpengaruh di jamannya yang mengembara dalam rangka mengemban tugas kerajaan maupun perintah dari gurunya supaya mencari tempat untuk bermukim dan mengembangkan wilayah maupun mengamalkan ilmu yang didapatnya guna diajarkan pada penduduk setempat. Seperti halnya yang dilakukan oleh Patih Setama, hingga pada suatu hari beliau mendengar suara :
“.. Ki Setama! Dengarkanlah nasehatku ini, pergilah kearah matahari mati,nanti kamu akan bertemu dengan pohon beringin kembar, duduk dan tunggulah disitu, kamu akan mendapatkan sesuatu kerajaan yang besar dan seorang raja yang sakti”., demikianlah suara yang didengar Ki Setama didalam semedinya, dengan terkejut ia terbangun, istrinya masih tidur didekatnya lalu dibangunkan. “marilah adinda kita pergi ke negara “ katanya, istrinya tanpa menjawab lalu bangun dan memperbaiki letak pakaian dan dieratkan ikat pinggangnya. Ki Setama telah mulai berjalan, istrinya yang setia mengikuti dibelakang tanpa kata sepatah. Ia berjalan terus kearah matahari mati, dilaluinya hutan yang lebat dan jurang-jurang yang dalam, kadang-kadang gunung yang tinggi, istrinya tak mengeluh tetap berjalan di belakangnya. Sekali ia bertanya. “Kemanakah kita pergi kanda”, Ki Setama menjawab,”Nun disebelah barat sana ada sebuah kerajaan besar, kita akan mengabdi di sana, dan istri yang setia itu tiada bertanya lagi tapi tetap mengikuti suaminya. Singkat cerita setelah Ki Setama bertemu Prabu Banjaransari lalu menitahkan pada Ki Setama untuk membawa rakyatnya agar pindah ke Kerajaan Galuh. (Soewito Santoso, 1970).
3
Cerita Prabu Banjaransari dalam kegundahannya karena dirinya seorang raja perjaka yang menginginkan kemuliaan hidup, kemudian pada suatu ketika berdasarkan nasihat seorang pendeta, agar menuju ke arah matahari mati atau tenggelamnya matahari padawaktu menjelang malam tiba. Demikian halnya yang dilakukan oleh Ki Setama yang ditemani istrinya yang sangat setia mengikuti nasihat seorang pendeta untuk menempuh perjalanan atau mengembara menuju matahari mati dan pada akhirnya mereka bertemu dengan rajanya yaitu Prabu Banjaransari di negeri Galuh.
Kisah kedua pembesar Kerajaan Koripan terebut hanyalah ilustrasi penulis dalam rangka mendekatkan kontek Ki Gado menjadi pendiri Desa Silado seperti halnya Prabu Banjaransari dan Ki Setama merubah hutan menjadi sebuah negeri atau kerajaan, sedangkan yang dilakukan Ki Gado pada saat Itu dalam sekala pemukiman kecil berupa desa atau pedesaan. Kehidupan pada waktu lampau memang masih diwarnai dengan nuansa mistik, seperti yang disampaikan oleh Soemarsaid Moertono dalam bukunya Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa lampau, bahwa Media semadi menjadi tradisi pada waktu itu dalam rangka mengetahui kehendak Tuhan atau dengan kata yang lebih lazim yaitu untuk melihat ke masa depan, dalam bahasa Babad Tanah Jawi “Neges karsaning hyang ingkang murbeng Pandulu / Pangeran (berusaha memahami kehendak yang Maha Tahu). Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan apa yang diamanatkan oleh Ki Gado menjadi kenyataan bahwa dalam menatap masa depan Desa Silado, bahwa pada saatnya nanti akan berubah menjadi sebuah desa disebabkan jumlah penduduknya yang berkembang baik karena beranak pinak maupun karena kehadiran penduduk dari daerah lain atau kaum urban kemudian menetap pada satu daerah yang dianggap cocok.
Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Desa Silado secara umum tidak banyak yang tahu bahkan mungkin tidak tahu sama sekali kususnya generasinya tentang Ki Gado, baik tempat tinggal maupun pesareannya (makam), barangkali hanya segelintir orang saja yang mengetahui itupun sebatas perkiraan saja. Berdasarkan penuturan nara sumber, bahwa tempat tinggal Ki Gado pada waktu itu berada di wilayah Rt.04 Rw.01 sekarang, namun sangat disesali data tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan sebab tidak didukung oleh bukti fisik atau situs maupun bukti tertulis. Bahkan makamnyapun tidak diketahui kepastian lokasinya,namun berdasarkan cerita rakyat yang berkembang secara turun temurun dan diamini oleh penutur lisan, bahwa makam Ki Gado dahulu berada di bawah pohon Wungu di pemakaman umum Grumbul Karangjati. Barangkali hilangnya situs Ki Gado akibat kurang perhatian atau juga akibat perubahan alam atau bencana alam, hal ini dapat terjadi pula pada situs-situs lain yang menjadi bukti sejarah, akan tetapi tetap bersukur sebab cerita tentang keberadaan pendiri Desa Silado bernama Ki Gado masih terekam oleh para kesepuhan di Desa Silado yang masih hidup sebagai sumber lisan. Oleh karena itu sebelum semuanya terlambat,
4
maka akan lebih baik jika keberadaan situs-situs tersebut dipelihara agar dapat menjadi saksi sejarah yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada kisah yang melegenda di masyarakat Desa Silado pada masa Ki Gado masih hidup dan dampak dari peristiwa tersebut berupa pantangan untuk menggelar pertunjukan wayang kulit, cerita ini terdapat dua versi yaitu :
- Hajat syukuran sembuh dari penyakit.
Diceritakan kembali oleh Bapak Ahmad Rosyadi atau Karisun bahwa ada seorang penduduk yang mengadakan sukuran berupa pertunjukan wayang kulit semalam suntuk atas kesembuhan anak perempuannya yang menderita sakit hingga menyebabkan kerontokan pada rambutnya. Pagelaran atau pertunjukan wayang kulit ini memang biasa dilakukan pada malam hari dengan menggunakan lampu penerang di balik layar, sehingga gerakan wayang yang dilakukan oleh dalang sebagai pembawa cerita menjadi kelihatan hidup dan menarik. Apalagi diiringi suara gamelan atau alat musik yang terdiri dari, Gong, Kemung, Gender, Kendang, Siter, Kenong, Gambang. Pakaian Penayagan (orang yang memainkan alat musik tersebut) biasanya berpakaian seragam adat jawa seperti Blangkon, baju lurik, dan bawahan jarit, demikian juga yang dikenakan oleh dalang, hanya sedikit perbedaan dalam hal berpakaian yaitu mengenakan atribut sebilah keris yang terselip dipunggungnya dan memegang Ketok serta Kecrek yang diselipkan pada jari kaki.
Pertunjukan wayang kulit merupakan opera yang menggunakan media layar putih pada tepiannya bergaris biasanya berwarna merah, lalu ada sinar yang dipancarkan untuk memberikan bayangan di balik layar, dan di bawahnya terdapat potongan pohon pisang sebagai tempat untuk menancapkan wayang dan tertata rapi. Tokoh wayang yang utama yaitu Pandawa Lima yang terdiri dari Raden Puntadewa, Raden Werkudara, Raden Janoko, Raden Nakula, Raden Sadewa, dan ditambah ada tokoh antagonis yaitu Duryudana dan anak buahnya dari Astina. Dalam Pewayangan terdapat urutan cerita yaitu Jejer, Kadhatonan, Paseban jaban, Bodholan, Jejer sabrangan, Perang gagal, Gara-gara, Perang kembang, Perang brubuh, dan Tancep kayon. Posisi Dalang dalam hal ini bertugas menceritakan jalannya pertunjukan wayang, adapun pembantunya disebut Panyumping, pemukul gamelan disebut Niyaga, sedangkan penyanyinya disebut Sinden atau Waranggono. (R.Palguno dan Sri Rahayu).
Cerita wayang atau disebut juga Ringgit Purwa biasanya pada paruh pertunjukan diselingi gara-gara yang berisi candaria,guyonan, lawak, bahkan kritikan kepada pemerintah, masyarakat, maupun kepada tuan rumah. Adapun tokoh Pumakawan terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Pada saat itulah peristiwa berdarah di Desa Silado terjadi, menurut cerita yang berkembang dimasyarakat Desa Silado seperti yang disampaikan oleh Bapak Karisun nama lain dari Achmad Rosadi, bahwa ketika dalang sedang menyampaikan
5
sindiran terhadap tuan rumah dengan mengatakan,” Gundul-gundul dadi kenese gundul-gundul dadi ayune. Akan tetapi kata-kata tersebut menimbulkan salah pengertian sebab dianggap menghina bagi anaknya yang baru saja sembuh dari penyakitnya, sehinggamenimbulkan kerontokan pada rambutnya atau gundul. Seketika itu dengan perasaan yang sudah dikuasai amarah, maka diambilah sebilah keris pusaka lalu ditusukan mengenai lutut hingga menyebabkan meninggalnya dalang tersebut, lalu oleh masyarakat setempat dimakamkan di pekarangan kosong di sekitar tewasnya dalang tersebut, dan pada kemudian hari lokasi itu di kenal dengan sebutan Kuburan Rah.
- Hajat pernikahan
Diceritakan kembali oleh Bapak Kyai Ahmad Sodiq bahwa, pada suatu ketika di luar wilayah Desa Silado sedang mengadakan pertunjukan wayang kulit dalam rangka sukuran pernikahan yang kebetulan pernah menderita sakit hingga mengalami kerontokan pada rambutnya atau gundul. Pada paruh pertunjukan wayang biasanya diselingi dengan gara-gara, yang kebetulan dalang pada waktu itu mengatakan,” Gundul-gundul dadi kenese gundul-gundul dadi ayune.”, perkataan itu dianggap sindiran terhadap anaknya yang gundul, lalu diambilah sebilah keris dan ditusukan melalui celah-celah bawah kelir tepat mengenai lutut dalang tersebut hingga tewas. Barangkali karena panik pelaku kemudian melarikan diri hingga sampai di wilayah Desa Silado, akibat dari peristiwa tersebut munculah suatu peringatan yang bersifat turun-temurun berupa larangan bagi masyarakat Silado dan juga desa-desa sekitarnya atau yang dilaluinya agar tidak mengadakan pertunjukan wayang kulit, adapun bunyi pesan tersebut dalam bahasa jawa adalah sebagai berikut,” Anak putuku tedak pitu turun wolu aja pada nanggap wayang, mbok nganti kedaden kaya sing tek lakoni nang aku,” (anak cucuku keturunan tujuh hingga delapan jangan mengadakan pertunjukan wayang, agar kejadian serupa yang saya alami tidak terulang).
- WANGSA PERMEA ( sekitar 1830 – 1850)
Biografi Wangsa Permea dalam bentuk tulisan maupun catatan yang dimiliki warga Silado pernah ditulis dalam Setetes Tinta Buat Silado oleh Haryanto, secara lesanpun pada umumnya mereka, kususnya tokoh kesepuhan masih fasih menceritakannya. Mereka sepakat bahwa Wangsa Permea seorang prajurit dari Pangeran Diponegoro yang menyelamatkan diri dari kejaran tentara penjajah Belanda paska penangkapannya, lalu satu diantaranya melarikan diri ke wilayah Banyumas dan bermukim di Desa Silado. Adapun sebagai bukti keberadaan Wangsa Permea berdasarkan keterangan dari penutur lisan yaitu makam beliau yang berada dipemakaman umum di Rt.02 Rw.01 Desa Silado, walau tanpa petunjuk tertulis baik tanggal maupun tahunnya di batu nisannya.
6
Penulis mencoba menelusuri tentang jejak prajurit Pangeran Diponegoro berdasarkan data literatur yakni dalam Sejarah Perlawanan terhadap kolonialisme, Departemen Pertahanan Pusat Sejarah ABRI 1973, bahwa Letnan Kolonel Diell yang memimpinpenumpasan perlawanan pasukan Pangeran diponegoro di wilayah Banyumas pada tahun 1825. Adapun orang yang berpengaruh dalam penyerangan tersebut adalah Jendral De Kock, karena pada waktu itu juga memerintahkan Letnan Kolonel Clerens untuk menumpas perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro di wilayah Tegal hingga Pekalongan. Satu diantara sekian banyak prajuritnya adalah bernama Wangsa Permea yang sebelumnya kemungkinan besar telah bertempat tinggal di Desa Silado dan bisa jadi beliau sekaligus sebagai kepala desanya, akan tetapi hal ini kurang di dukung dengan adanya bukti yang kuat.
Agar lebih mengerucutkan Ki Wangsa Permea sebagai bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro, maka ada baiknya secara singkat perlu dijelaskan siapa dan bagaimana Pangeran Diponegoro hingga pengaruhnya begitu besar terhadap masyarakat Jawa Tengah kususnya. Masa kecilnya bernama Raden Mas Ontowiryo atau Abdul Hamid bergelar Sultan Kyai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati ing Alogo Sayyidin Pranatagama Amirul Mukminin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong, ia lahir pada tanggal 11 Nopember 1785 di Dusun Tegalrejo Kecamatan Tegalrejo Yogyakarta , yang diasuh oleh Ratu Ageng janda dari Sultan Hamengkubuwono I( menurut Oman, berdasarkan penelitian atas naskah Jav.69/silsilah syattariyah, dari koleksi Colin mackenzie di Britis librery London, Ratu Ageng yang disebut Kanjeng Ratu Kadipaten, dalam naskah disebutkan dalam empat bait sebagai penganut setia yang memiliki pertalian langsung dengan para mursyid utama Tarekat Syatariyah di Jawa Barat, Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan /1640-1715, NU Online, 29-7-2017), ayahnya bernama Sultan Hamengkubuwono III sebagai Raja Kesultanan Mataram yang berkedudukan di Ngayogyokarto Hadiningrat atau Jogjakarta. Pada masa mudanya dihabiskan untuk menimba ilmu agama, ia adalah seorang santri yang juga penganut thariqat dan sangat ditakuti oleh penjajah Belanda pada waktu itu. Pertama kali mondok pesantren di Tegalsari, Jetis, Ponorogo, kepada KH. Hasan Besari, lalu ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro, kemudian ngaji Tafsir Jalalain kepada Kyai Haji Baidlowi Bagelen yang makamnya di Glodegan, Bantul, Yogyakarta. Terakhir beliau juga ngaji ilmu hikmah kepada Kyai Haji Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.
Adapun konflik yang terjadi antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro yang memiliki pasukan yang tersebar di daerah Banyumas, Tegal, Pekalongan, Kedu, Surakarta, juga di Yogyakarta, bermula karena terjadinya ketimpangan, kesewenang-wenangan, serta penindasan terhadap rakyat. Oleh sebab itu beliau menyerukan kepada pasukannya, untuk menabuh genderang perang atau mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Akibat mendapat perlawanan sengit di berbagai wilayah kekuasaan Pangeran Diponegoro, maka Belanda melakukan siasat yang menjebak yaitu dengan cara pembuatan jalan dari Yogyakarta
7
menuju Magelang yang nantinya akan menerjang makam keramat leluhurnya, dengan demikian maka diharapkan akan menimbulkan kemarahan besar bagi Pangeran Diponegoro, sehingga memudahkan Belanda untuk menangkapnya dengan alasan menentang kebijaksanaan Pemerintah Kolonial Belanda. Singkat ceritanya pada tanggal 28 Maret 1830 berhasil dijebak lalu ditangkap oleh jendral De Kock yang berpura-pura mengajak berunding dan kemudian diasingkan di kota Menado Makasar di Benteng Rotterdam selama 25 tahun hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.(Gamal Kamandaka...).
Pengaruh perjuangan Pangeran Diponegoro di dalam melawan kolonialis Belanda yang begitu luas hingga ke wilayah Banyumas, maka sangat memungkinkan jika Ki Wangsa Permea termasuk prajuritnya yang menyelamatkan diri hingga ke wilayah Banyumas dan menetap di Desa Silado dalam rangka meneruskan perlawanannya, dan pada perkembanganya diangkat sebagai kepala desa. Pada waktu itu kepala desa disebut juga bekel, penglawe, panetep, penatus. (S. Margana dalam bukunya Keraton Surakarta dan Yogyakarta 1769 – 1874, halaman 43.)
Kemudian untuk lebih mendekatkan lagi terkait keberadaan Desa Silado secara geografis sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Banyumas, pada masa pemerintahan Raden Djoko Kahiman (1582 – 1583) sebagai bupati pertamanya di bawah kekuasaan kerajaan Pajang. Setelah runtuhnya kerajaan Pajang lalu digantikan oleh kerajaan Mataram dan akibat perjanjian Gianti pada tahun 1755 dan Perdamaian Salatiga, maka kerajaan Mataram pada tahun 1813 terpecah menjadi empat kerajaan kecil-kecil yaitu Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. (Soemarsaid Moertono, 1985).
Dikisahkan pula terkait pelarian para prajurit Pangeran Diponegoro, seperti yang diceritakan kembali oleh A.Khoirul, selasa 16-7-2013 dlm NU Online, bahwa setelah P.Diponegoro ditangkap oleh pasukan Belanda beberapa sisa pasukanya menyebar ke berbagai penjuru, salah satunya adalah KH. Imam Syafii lalu mendirikan sebuah masjid dan di atas pintu masuk masjid ada rangkaian huruf arab bertuliskan Masjid Al-Mujahidin, setelah perang Pangeran Diponegoro 1825-1830 lalu mereka dikejar oleh tentara belanda dan berhenti di desa dukuh bulu, desa karanganyar, sambungmacan sragen. Data tersebut ikut mendukung bahwa para prajurit p.diponegoro memang kocar-kacir dikejar tentara belanda hingga tersebar di penjuru jawa tengah khususnya, lain diantaranya dalam peristiwa tersebut yaitu Wangsa Permea yang melarikan hingga ke desa Silado. Data tersebut menurut penulis ikut memperkuat keterangan dari para nara sumber atau penutur lisan tentang keberadaan Wangsa Permea sebagai prajurit Pangeran Diponegoro kala itu.
Kepatuhan seorang prajurit terhadap pimpinan dalam melaksanakan perintahnya walau pimpinannya telah menjadi tawanan pihak kolonialis Belanda, maka dapat dilihat pada konsep
8
aristokrasi dalam kontek raja – raja Jawa Hindu yang menerangkan bahwa raja sebagai pusat mikrokosmos negara dan puncak hierarki – status dalam negara, sehingga mikrokosmos sejajar dengan makrokosmos, atau raja Jawa – Hindu di sama sesuaikan dengan dewa.Sedangkan pada masa Jawa – Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung sebelumnya, yaitu Kalipatullah atau wali Tuhan di dunia. Amangkurat IV (1719 – 1724) sebagai orang atau raja pertama yang menggunakan gelar ini dalam bentuk ,”Prabu Mangku-Rat Senopati Ingalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah, (Soemarsaid Moertono, 1985), gelar tersebut dalam rangka melegitimasi kekuasaan seorang raja agar hubungannya dengan masyarakat tetap disegani, berwibawa, dan dipatuhi segala perintahnya.
Suatu ikhtisar pemikiran jawa tentang hubungan raja dengan kawulanya akan mengemukakan tiga konsep pokok yaitu :
- Hubungan pribadi yang akrab disertai oleh perasaan saling mengasihi dan menghormati dianggap sebagai pola atau model baku dalam komunikasi sosial.
- Takdir menetapkan kedudukan manusia dalam masyarakat apakah ia dilahirkan sebagai abdi atau tuan, akibatnya manusia tidak punya pilihan lain kecuali melakukan kewajibanya seperti telah ditentukan oleh takdir, kedua faktor ini menghasilkan suatu jenis praktek pemerintahan.
- Penguasa dan (para pejabatnya) dari segi kebijaksanaan pemerintahan praktis harus memperhatikan para warganya seperti orang tua mengasuh anak – anaknya, dengan demikian sesungguhnya sang penguasa memiliki sikap keunggulan (superioritas) yang melindungi, sedangkan yang diperintah memiliki sikap pengabdian yang tulus. (Soemarsono Soemarsaid, 1985).
Kehadiran Wangsa Permea di Desa Silado bila dikaitkan dengan statemen diatas maka, merupakan bagian dari konsep aristokrasi yakni memiliki kedudukan yang berpengaruh besar di masyarakat sebab terkategorikan sebagai kelas bangsawan, (Reuben Levy,1986). Begitu juga hubunganya dengan atasan dalam bentuk pengabdian kepada penguasa atau raja yang nyaris tanpa kritik, bila dilihat dari tiga konsep hubungan antara raja dengan kawulanya dalam melaksanakan semua tugas-tugas yang diberikan tersebut. Adapun keberadaan Wangsa Permea di Desa Silado bak embun penyejuk di pagi hari atau pelepas dahaga diterik panasnya sinar mentari di siang hari sebab masyarakat mendambakan adanya seorang pemimpin atau orang yang dituakan, setelah terjadi kekosongan tokoh panutan sepeninggalnya Ki Gado, walaupun secara notabene ia bukanlah seorang kepala desa, tetapi seorang sesepuh desa yang sangat disegani, juga seorang tokoh vital sebagai peletak dasar berdirinya Desa Silado.
9
Wangsa Permea sebagai mantan prajurit tentunya memiliki kelebihan dibanding dengan masyarakat biasa, adapun kelebihanya yang tersohor konon ceritanya yaitu, pada suatu hari Ia mendapati istrinya nampak murung diruang belakang tempat memasak, hal itu disebabkankayu bakarnya telah habis. Lalu dengan tenang Ia menyuruh istrinya meletakan belangga diatas tungku dan kemudian memasukan ke dua kaki Wangsa Permea ke dalam Pawon atau tungku tersebut, kemudian secara tiba-tiba keluarlah api menyala-nyala dari ke dua kakinya, sehingga istrinya merasa gembira dapat menyelesaikan pekerjaan memasaknya dengan diwarnai perasaan keheran-heranan. Masih terkait tentang cerita kesaktian beliau yakni pada suatu hari menghadiri pertemuan para kepala desa atas undangan Bupati Banyumas Adipati Cokronegara Kanoman : Raden Adipati Brotoningrat 1816 – 1830 (internet 2016). Pada waktu itu pertemuan diadakan di Pendopo Kawedanan (Onder Distrik/Assistenan) Soekaradja atau sokaraja (sekarang), dahulu lokasinya di Desa Banjarsari Kecamatan Sokaraja. Kesaktiannya ternyata telah kesohor hingga ke telinga bupati, sehingga kanjeng bupati berkeinginan menyaksikan sendiri tentang kesaktian Lurah Silado tersebut, maka dipanggilah supaya maju menghadap. Adat kebiasaan bagi bawahan ketika menghadap pada masa itu dengan cara jongkok setengah duduk atau istilahnya “mlaku ngesot” sebagai bentuk kepatuhan dan hormat pada pimpinan.
Pada saat ngesot itulah lantai yang dilewatinya mengepulkan asap yang tebal dan mengeluarkan percikan api diakibatkan gesekan kedua kaki orang nomor satu di Desa Silado tersebut dengan lantai pendopo, sehingga terperanjatlah semua yang hadir dalam pertemuan itu tidak kecuali bagi bupati Raden Adipati Brotodiningrat.
Demikianlah kisah kesaktian Wangsa Permea sebagai kepala desa pertama di Desa Silado, selanjutnya sebagai tambahan informasi dari buku Sumbang Menjual Mimpi, terkait Onder Distrik/assistenan Soekaradja Wetan pada waktu itu terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
- Onder Distrik Soekaradja
- Onder Distrik Ledhoeg Dhoewoer
- Onder Distrik Karangtengah Kidoel
Berikut ini penulis sampaikan benda pusaka yang pernah dimiliki oleh Wangsa Permea yaitu sebilah pedang yang dahulu pernah disimpan oleh Reksadikrama, karena masih memiliki hubungan kekeluargaan dari Ni Reksadikrama sebagai istri Ki Reksadikrama, akan tetapi pada perkembanganya pedang tersebut dikembalikan dengan cara diletakan di makam Wangsa Permea dan tiba-tiba lenyap tak berbekas. Kemudian Ki Reksadikrama berwasiat atau berpesan bahwa bagi orang yang bertapa menginginkan pedang tersebut tidak akan terkabul jikalau bukan dari keturunan Wangsa Permea.